Saturday, October 16, 2010

Yang dicaci, yang dicari

Tahun 2010 ini, beberapa Kementerian membuka lowongan pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) baru. Tak ayal lagi, ribuan orang mendaftarkan diri meskipun persyaratan administrasi yang harus dipenuhi tak sedikit. Setiap pelamar wajib menyertakan kartu kuning, SKCK (bukti kelakuan baik) dari kepolisian, surat keterangan sehat dari rumah sakit yang semuanya tak bisa dibilang gratis. Pungutan selalu merajalela saat orang ramai ingin menjadi CPNS. Bila satu saja persyaratan administrasi tersebut tak disertakan, maka jangan harap bisa lolos ke tahap selanjutnya.

Saya tak mau panjang lebar mengomentari rumitnya mengurus surat-surat tersebut. Yang mengherankan adalah bagaimana pekerjaan menjadi PNS itu begitu menggoda padahal sudah rahasia umum beberapa persen dari mereka tak bekerja sesuai aturan. Tak jarang PNS dicaci karena korupsi. Entah itu korupsi waktu kerja ataupun korupsi uang negara.

Media juga tak surut memberitakan kemalasan PNS, namun sayangnya efek pemberitaan tak mampu menjadi cambuk bagi mereka untuk berbenah diri. Sungguh sayang. Media yang dianggap sebagai kontrol publik saja sudah tak mampu membuat mereka sadar apalagi dengan cibiran masyarakat yang terdengar seperti bisikan saja.

Meskipun banyak dicibir, dicaci, dimaki atau apalah sebutannya itu, ribuan orang tetap berminat menjadi PNS. Tak jarang juga mereka yang mencaci ikut meramaikan ajang pendaftaran CPNS tadi. Mulut menolak tapi hati berontak. Fenomena ini rasanya sulit hilang dari tanah Indonesia. Keinginan untuk mendapat uang tanpa harus bersusah payah nampaknya telah menjadikan orang sebagai hamba profesi PNS. Lihat saja, pendaftaran CPNS tak pernah sepi peminat.

Bagaimana negeri ini bisa makmur, kalau tujuan hidup masyarakatnya hanya ingin santai di hari tua tanpa ada upaya maksimal di masa muda. Seharusnya mereka yang menjadi PNS sadar bahwa sebenarnya mereka adalah abdi negara yang digaji dengan uang rakyar. Seharusnya malu jika korupsi uang dan waktu. Apa sulitnya melayani masyarakat hanya 8 jam sehari? Apa sulitnya berada di kantor selama jam kerja. Dan mengapa terlihat sulit menahan diri untuk tak korupsi? Padahal mereka akan tetap mendapat santunan hidup di hari tua.

Saya cuma berharap, pola pikir mayoritas masyarakat Indonesia bisa berubah untuk lebih mementingkan bangsanya ketimbang mementingkan kenyamanan pribadi. Toh kalau bangsa ini sudah nyaman, tenteram, dan sentosa tentunya kehidupan masyarakat di dalamnya juga ikut sejahtera!

Friday, August 13, 2010

Wartawan Itu..

Pekerjaan wartawan itu kadang membuat saya banyak berpikir tentang hidup. Tak selamanya apa yang kita rasakan benar adanya. Tak selalu apa yang terlihat itu yang terjadi. Meskipun kini saya adalah seorang wartawan media cetak, namun seringkali saya berpikir bahwa saya tidak cocok menekuni dunia ini. Banyak kegundahan, banyak keraguan, banyak keresahan.

Apalagi setelah saya masuk di rubrik metropolitan, dimana lebih fokus menyoroti kehidupan perkotaan Jakarta. Kewajiban meliput peristiwa kadang menjadikan kegiatan reportase sebagai suatu eksploitasi ekspresi. Bagaimana orang sedih harus terlihat teramat nelangsa, dan orang marah harus bisa terbayang sebagai suatu tindakan anarkhi.

Menurut saya ini pekerjaan yang cukup berat. Karena belum tentu si objek berita ingin dideskripsikan seperti apa yang wartawan tulis. Itu seperti pemaksaan pembentukan karakter. Bukan hanya itu saja, tuntutan redaktur untuk cover both side seakan jadi ajang untuk mengadu domba pemberitaan dan menyudutkan.

Kakak perempuan saya berkata, pekerjaan wartawan adalah pekerjaan riskan. Kita harus siap menanggung dosa dari setiap berita yang disampaikan. Terdengar seram memang. Semoga saja setiap berita yang saya buat tidak menimbulkan kerugian bagi yang lain :)

Sejauh ini sih saya masih bisa menikmati profesi wartawan, entah sampai kapan. Yang pasti, saya ingin mencobanya dulu hingga satu tahun sebagai pengalaman. Jam kerja yang fleksibel menjadi satu keuntungan yang saya suka. Hanya saja, saya tidak suka dengan jatah hari libur yang tidak bisa sabtu-minggu, meskipun dalam satu minggu pasti mendapat dua hari libur.

Terbesit pertanyaan dalam pikiran saya. Bagaimana cara agar saya bisa mengetahui jenis pekerjaan apa yang cocok dengan karakter saya ini. Sampai sekarang, jawaban itu belum bisa saya temukan. Saya tak punya hobi, tak punya kegemaran spesifik, hanya memiliki kemampuan terbatas, dan rasanya tidak punya bakat. Tapi saya tak pernah putus berdoa, semoga Yang Maha Kuasa selalu memberikan petunjuk dari setiap apa yang saya kerjakan dan impikan!

Saturday, July 24, 2010

semua hanya teori

katamu dan kata mereka..
cinta itu tanpa syarat
tapi ternyata kau paksa aku untuk berikan rasa sayang yang lebih
kau suruh aku untuk tak selingkuh


katamu dan kata mereka..
cinta itu tulus apa adanya
tapi nyatanya kau racuni pikiranku untuk selalu memoles diri agar cantik dipandang
kau jebak aku dalam sebuah kepalsuan ragawi

cinta ibarat candu
tak bisa ditolak
tak bisa dipaksa
tak bisa dibuat

cinta layaknya benda abstrak tanpa makna
tapi kita bebas memberinya arti


cinta hanyalah teori
teori yang setiap orang bisa mencatat dalam buku sejarah hidupnya

Saturday, May 8, 2010

surat untuk kamu (yang selalu ada di hatiku)

"membedakan perasaan dengan keadaan"
itu kalimat yang berhasil bikin aku mikir semua kesalahanku.

berat, ya bagiku itu hal yang sangat berat.
berat untuk melepas semua kenangan yang pernah kamu toreh di dalam hatiku.
berat untuk bisa mengingkari kalau kamu terlalu berharga saat aku mulai kehilangan.

aku bimbang, entah seperti apa.
aku tak bisa menolak semua apa yang aku rasa.
tapi aku juga tidak bisa merampas kebahagiaanmu bersama duniamu.
satu hal yang aku ingat.
kamu selalu menegaskan bahwa "untuk apa mencintai kalau tidak bisa memiliki"
kamu yang selalu menyatakan cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan.

kali ini aku sadar betapa besar perjuanganmu untuk mempertahankanku selama setahun kemarin.
sekarang saatnya bagi aku untuk menerima tongkat perjuanganmu.
aku, ya aku, akan berusaha menjadikan perjuangan itu tak lagi sia-sia.
tapi aku tidak bisa bekerja sendiri.
aku butuh bantuan kamu.
setidaknya saat ini aku akan seperti kamu yang dulu.
"aku yang membangun hubungan kita, kamu hanya membantu saja"
mungkin kini itu yang akan aku lakukan.
membangun kembali puing-puing kasih yang tersisa.
aku butuh kamu untuk sekedar membantu
agar pondasi yang aku buat menjadi kokoh.

sekarang dan nanti,
aku akan berusaha mencoba merebut kembali perhatian kamu.
sampai aku tak lagi kamu harapkan.











8 Mei 2010
radio-dalam

Sunday, March 28, 2010

detik-detik menyenangkan..

Sebenarnya kata "menyenangkan" pada judul hanya sebagai penyemangat untuk saya. Besok adalah ahri pertama saya mulai memasuki dunia kerja yang 'sebenarnya'. Dunia dimana saya harus bekerja untuk mendapatkan uang, kepuasan batin, dan tentunya pengalaman hidup.

Excited tapi deg-degan. hehehe..
Tapi saya tahu kalau ini harus dijalani. Yakin dan tetap kerja keras. Kesuksesan selalu membutuhkan pengorbanan dan usaha yang keras. Karena itu saya yakin bisa melaluinya.

amin!

Friday, March 26, 2010

Kerjaan Rejeki

Banyak yang bilang "rejeki gak bakal kemana2 ko, kalo udah rejeki pasti akhirnya dapet juga". Ungkapan itu ternyata baru saja saya alami. Berawal dari ketika lulus kuliah akhir tahun 2009, saya mulai mencari pekerjaan kemana-mana, apply sana-apply sini, interview sana-interview sini, ujung-ujungnya gak ada yang 'nyantol'. Sempat sedikit khawatir dan stress dengan pertambahan hari yang rasanya berganti begitu cepat namun belum juga dapat kerjaan. Sampai pada suatu hari tepatnya sore hari tanggal 22 Maret 2010 saya mendapat telepon dari kantor Tempo yang menawarkan saya untuk menjadi "calon reporter" (sebutan untuk reporter kontrak di Tempo). Kaget tidak percaya tapi juga ada perasaan senang. Saya pantas merasa senang karena beberapa bulan lalu saya sudah menjalani serangkaian tes saringan masuk untuk posisi calon reporter di PT. Tempo Inti Media, namun sayang saya gagal setelah mengikuti tahap akhir tes. Saat tahu bahwa saya tidak lolos, sedikit ada rasa putus asa. Bagaimana tidak, tes saringan masuk terdiri dari 6 tahap yang memakan waktu 1 bulan. Mulai tes psikotes, interview, tes TOEFL hingga medical check-up. Saya gagal di tahap terakhir.

Selepas dari Tempo itu saya mencari-cari lagi pekerjaan yang sesuai dengan jurusan saya, jurnalistik. Berbagai interview untuk berbagai jenis pekerjaan pun saya ikuti. Mulai dari account executive, copywriter, hingga posisi creative untuk Event Organizer, tapi entah kenapa saya merasa kurang sreg. Kegundahan hati ini berlangsung selama saya menganggur. Banyak yang mencemooh saya dan bilang kalau saya terlalu idealis, padahal saya pun kurang paham dengan kata "idealis" yang mereka maksudkan. Kebanyakan dari mereka menganjurkan saya bekerja di bank saja, cukup menjadi customer service, call center atau teller daripada lama menganggur. Saya hanya bisa tersenyum mendengar itu sambil berkata dalam hati, "saya ingin bekerja di media, saya ingin menjadi wartawan." Hanya segelintir orang yang bisa memahami keinginan saya itu dan memberi semangat untuk tetap mencapai harapan saya. Peran kakak dan pacar sangat membantu sebagai pemberi motivasi yang handal.

Harapan mulai tercapai. Telepon kejutan di sore hari itu membuat saya yakin bahwa setiap harapan membutuhkan usaha dan kesabaran. Akhirnya Tempo menjelaskan bahwa mereka membutuhkan 1 orang calon reporter lagi dan mereka memilih saya. Saya pun tak perlu tes atau interview. Saya hanya disuruh datang pada hari Senin untuk tanda tangan kontrak dan mulai langsung menjalani training. Meskipun kontrak untuk 1 tahun tapi saya merasa ini kesempatan bagus untuk saya. Sekarang saya ingin mempersiapkan mental menjadi seorang wartawan dan menetapkan harapan baru untuk karir saya ke depan.

Ternyata pekerjaan pun menganut prinsip rejeki takkan lari kemana.

Thursday, February 25, 2010

asa yang hilang..

kaki tak dapat lagi melangkah
hilang sudah separuh raga
tak bisa kusembunyikan
untaian kasih tak bermakna

langkah tak berderap
emosi tak lagi terlihat
menjauh.. menjauhlah bagai sang fajar
suara hati semakin menjerit
terinjak oleh kesombongan hasrat

bila jalan tak berujung itu yang kau pilih
tiada kan datang segala harap
tinggallah semua asa di dada
tinggalkan beribu kenangan

ucapkan satu kata dari bibirmu
aku kan hilang menyesap rindu
padamu..

Tuesday, February 16, 2010

kritik yang (tidak) membangun

Mendengar kata kritik saya pikiran saya langsung melambung ke berbagai pengalaman saya saat dikritik. Sewaktu saya masih menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Media Publica (Persma di kampus saya, Moestopo) banyak sekali kritik yang datang. Hujaman kritik kerap terlontar dari beberapa reporter saya dan tentunya dari "atasan" saya (Pemimpin Umum). Jujur saja, saya tidak suka dengan kritik, tapi rupanya saya memang tidak bisa mencegah orang untuk tidak mengkritik. Banyak kritik yang masuk di telinga saya, mulai dari cara kerja saya yang dianggap terlalu lunak sampai isi terbitan yang dianggap kurang ‘gres’. Memang mungkin tujuan awal mereka mengkritik saya agar nantinya hasil jurnalistik itu bisa mencapai titik maksimal dari yang diharapkan bersama. Saya lebih senang bila ada yang memberi saran atau solusi dari suatu hal yang dinilai belum maksimal.

Ada beberapa hal yang paling tidak saya sukai dari kritik adalah:
1. Apabila si pemberi kritik tidak tahu dan tidak mengerti tentang apa yang saya lakukan atau kerjakan. Terkadang mereka yang sok tahu ini cuma bisa berkomentar buruk tanpa ada rasa simpati sedikit pun dan merasa dirinya paling benar.
2. Saya tidak akan respek terhadap kritik yang ditujukan kepada saya apabila disampaikan tanpa adanya tawaran solusi atau saran yang bisa membuat lebih baik. Orang yang seperti ini saya kategorikan sebagai "tong kosong nyaring bunyinya".
3. Kritik disampaikan dengan bahasa yang kasar dan tanpa etika. Hal yang satu ini membuat saya ingin menutup kuping rapat2 atau segera pergi dari hadapan sang pengkritik, dan bila tak tahan juga kemungkinan terburuk akan berujung pada pertengkaran.

Seseorang pernah bercerita kepada saya mengenai kritikan. Hasil jerih payah dia dikritik habis-habisan, lebih tepatnya dihina di depan banyak orang. Bukan kritiknya yang dia permasalahkan tapi penyampaian kritik itu yang membuat darahnya langsung mendidih karena emosi. Bagaimana tidak, hasil kerjanya untuk menghasilkan karya jurnalistik dibilang sebagai "SAMPAH". Saya rasa itu bukan kritik lagi namanya, tapi sudah menjurus pada penghinaan. Tak hanya itu, saat ditanya bagian mana yang dianggap "sampah" pengkritik tadi tidak menjelaskan secara eksplisit. Wajar saja bila hubungan kedua orang tadi (pengkritik dan yang dikritik) menjadi renggang. Bukannya menghasilkan hal yang lebih baik malah menciptakan rasa permusuhan diantara keduanya.

Jadi, kategori kritik yang baik dan membangun  (menurut saya) harus kebalikan dari 3 hal yang telah saya sebutkan sebelumnya. Kritik tak boleh asal dilontarkan karena bukan tak mungkin kritik itu akan berbalik kepada Anda lebih tajam lagi.

Sunday, February 7, 2010

Cita-citaku...

Setiap orang pasti memiliki cita-cita yang tinggi. Entah itu jadi presiden, pilot, dokter, dan lainnya. Memang kata orang cita-cita itu penting dimiliki agar manusia bisa menentukan arah hidupnya.  Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki cita-cita? Apakah cita-cita itu sama dengan impian? Saya patut khawatir, karena jujur saja saya belum terpikir tentang apa yang menjadi cita-cita saya. Yang terlintas dipikiran saya tentang cita-cita adalah menjadi orang kaya yang sukses lahir batin! Hahaha, klise banget ya. Mungkin lebih tepat disebut impian ya daripada cita-cita.

Kakak pertama saya pernah berkata, "orang yang tidak punya cita-cita maka hidupnya bagaikan terombang-ambing di lautan yang berarus deras. Tidak bisa mencapai tepian dan tidak bisa menentukan arah. Ibarat mengikuti alur yang pada akhirnya akan berujung pada hilir yang tak bermakna."

Petuah tersebut langsung menyentak pikiran saya dan tanpa sadar mengiyakan ucapan kakak saya itu. Maka dari itu, mulai sekarang saya masih menentukan apa yang akan menjadi cita-cita saya kelak dan berusaha untuk mewujudkannya. Doakan saja :)

Sunday, January 31, 2010

berbagi ilmu yang menyenangkan

Tadi pagi saya didaulat untuk menjadi pengisi materi di Wadah Kegiatan Mahasiswa Media Publica (WKM MP) tempat dulu saya menjadi anggotanya. Materi yang saya bawakan adalah Bahasa Indonesia Jurnalistik meliputi penggunaannya, EYD, tanda baca dan sebagainya karena MP adalah persma Fikom Moestopo. Saya tidak tahu mengapa para junior di MP mempercayakan saya menjadi pengisi materi tersebut. Padahal saya sendiri masih butuh banyak belajar tentang kebahasaan dalam jurnalistik. Akhirnya dengan waktu yang sangat mepet (saya baru dikonfirmasi sehari sebelum acara), saya mencoba untuk mencari2 buku tentang bahasa jurnalistik dan mengobrak-abrik bahan2 mata kuliah saya dulu. Setelah berhasil menemukan literatur bacaan saya langsung membaca secara singkat dan membuat ikhtisarnya. Saya sempat bingung karena merasa bahan yang saya dapatkan masih jauh dari kata cukup untuk berbagi ilmu kepada caang (calon anggota) MP yang akan menerima transfer pengetahuan saya tentang bahasa jurnalistik.

Pada hari H saya datang pukul 9 pagi karena ingin briefing dan berbincang sedikit dengan moderator saya. Hasil diskusi kemudian saya rangkum menjadi poin2 materi yang akan saya sampaikan. Pukul 10 caang sudah banyak yang datang dan sayapun segera memulai materi. Awalnya saya sempat grogi karena pertanyaan pembuka tentang perbedaan bahasa Indonesia biasa dengan bahasa jurnalistik tidak ada yang menjawab bahkan tidak ada yang menanggapi. Setelah saya pancing2 dengan humor barulah mereka berani "bersuara". Sesi penjelasan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Kebanyakan dari mereka mengaku masih bingung dengan bahasa Indonesia sehingga masih kesulitan dalam memahami bahasa jurnalistik. Struktur kalimat menjadi salah satu yang dianggao sulit.

Untungnya materi yang saya berikan mampu dicerna dengan baik oleh mereka, dan menjelang batas waktu saya memberikan permainan tentang bahasa yang memerlukan banyak perbendaharaan kosakata. Dari 5 kelompok ternyata hanya 2 yang berhasil menyelesaikan dengan baik. Dengan terpaksa saya harus memberikan hukuman kepada 2 kelompok yang kalah tersebut. Dengan diselingi humor akhirnya semua poin2 penting dari materi bahasa Indonesia jurnalistik sudah saya berikan dan nampaknya mereka cukup senang dengan pembawaan materi hari ini, hehehe..

Selesai memberikan materi saya langsung kembali ke rumah dan membayar hutang tidur saya akibat begadang demi membuat rangkuman2 materi. Batin saya pun merasa puas karena telah berbagi ilmu dan pengetahuan dengan mereka. Semoga bisa bermanfaat hingga mereka sukses nanti.

Thursday, January 28, 2010

bener-bener edan

Weekend lalu saya menonton tayangan John Pantau (kalau tidak salah hari minggu) di trans tv, hari itu adalah tayangan edisi "DPR". Awal acara dimulai dengan "memeriksa" kecanggihan mobil dinas yang baru-baru ini diterima oleh menteri yang sedang menjabat. Terlihat jelas bahwa mobil seharga milyaran rupiah itu memang sangat nyaman dan mewah. Di dalamnya tersedia pemanas kursi, kulkas kecil untuk minuman, kursi yang bisa memijat, hingga atap mobil yang dapat terbuka. Wow, saya langsung berpikir enak sekali ya jadi menteri dapat fasilitas serba mewah seperti itu. Asal jangan fasilitas negara itu pada akhirnya diakui atau berpindah tangan menjadi milik pribadi saja!

Kemudian John Pantau menghampiri seorang anggota DPR yang baru saja turun dari mobil mahal tersebut. Dengan sigap John Pantau menanyakan apakah pembelian mobil mewah itu termasuk pemborosan uang negara. Saya terkejut mendengar jawaban narasumber itu (saya lupa namanya) yang mengatakan bahwa seharusnya DPR disetarakan dengan presiden bukan dengan menteri. Dikatakannya pemberian mobil seharga milyaran tersebut merupakan down grade (penurunan tingkat). Narasumber tersebut mengatakan "presiden saja mobilnya Mercy, kita (DPR) juga seharusnya sama dengan presiden." Pernyataan tersebut langsung membuat saya geram. Bagaimana tidak?! Sudah enak diberi fasilitas mobil mewah masih saja merasa kurang dan minta disetarakan dengan presiden. Dasar manusia rakus!

Ada lagi sesi John Pantau mewawancarai sejumlah artis yang menjadi anggota DPR, namun pertanyaan yang diajukan bukan mengenai mobil melainkan tentang Indonesia yaitu seputar lagu Indonesia Raya, ayat-ayat dalam Pancasila, dan teks Proklamasi Indonesia. Ternyata jawaban2 mereka membuat saya ingin tertawa sekaligus miris hati. Primus Yustisio (artis favorit saya waktu saya masih SMA) diberikan pertanyaan apa bunyi pancasila sila ke 3, tapi jawabannya malah persatuan rakyat Indonesia (salah dikit sih). Kemudian Rachel Maryam ditanya bagaimana bunyi isi teks proklamasi, dijawabnya dengan tergagap dan salah. John Pantau sebagai pembawa acara dengan gayanya yang lucu hanya bisa tertawa mendengar jawaban tersebut.

Lalu John Pantau beralih ke Inggrid Kansil. Menurut saya inilah sesi "terlucu" dalam John Pantau edisi DPR. Saat ditanyakan apa itu hak angket, Inggrid Kansil sama sekali tidak bisa menjawab! Layaknya seorang murid yang ditanya hapalan oleh guru, ia pun mencoba mengingat apa itu hak angket. Padahal DPR waktu itu mengusulkan hak angket dalam mengusut kasus Century. Setelah cukup lama berpikir dan benar2 tidak ingat, akhirnya ia bertanya pada salah seorang staffnya (wawancara memang dilakukan di ruangan mereka). Alhasil, keusilan Jon Pantau makin menggila dengan mengajukan lagi pertanyaan kepada Inggrid yaitu apa beda hak angket dengan hak interpelasi. Seperti sudah diduga, tidak bisa dijawab dengan benar. Celotehan John Pantau yang sedikit menyindir dan gaya khasnya yang unik benar2 membuat penonton senyum-senyum kesal melihat anggota DPR ternyata tak bisa menjawab pertanyaan "mudah" itu.

Tak hanya Rachel, Primus, dan Inggrid saja yang ditanya, masih ada beberapa artis lagi seperti Eko Patrio dan yang lainnya (maaf saya lupa). Kebanyakan dari mereka tidak hapal Pancasila dan lagu Indonesia Raya saat ditanya. Seharusnya mereka malu menjadi anggota DPR tanpa memiliki pengetahuan dasar seperti itu. Kalah dengan masyarakat biasa yang saat ditanyakan hal yang sama mereka dapat menjawabnya dengan lancar dan tentunya benar.

Batin saya langsung berkata, baru ditanya seputar hal seperti itu saja mereka menjawab tidak bisa menjawab. Bagaimana jika mereka harus menjawab berbagai permasalahan rakyat yang tak kunjung membaik? Semoga saja kemampuan dan pengetahuan mereka tidak hanya seperti yang terlihat pada tayangan John Pantau ini. Ya, semoga saja.

Monday, January 25, 2010

persiapan interview

Besok gw ada interview untuk yang kesekian kalinya. Semangat sih tetep dong, gak mau nyerah sama keadaan, ahahaha.. Besok gw ada interview di Thamrin tepatnya majalah Cosmopolitan. Deg-degan lumyanlah, prepare2 udah, tinggal siapin mental aja nih.
Rencananya sih browsing2 1 hari sebelum interview buat nambah referensi2 ilmu, tapi nyatanya malah browsing yang gak penting2 banget. Kebiasaan banget deh!

Niat pertama browsing sih buat nyari2 informasi lengkap tentang majalah cosmopolitan, tapi lama2 malah download2 yang laen, hihihi.. Kacau dah.
Yaaa, berdoa aja supaya besok lancar dan syukur2 kalo keterima di situ. Harus penuh kayakinan! Tetap tanamkan pikiran positif biar besok mantab..
Ga mau gagal seperti pengalaman sebelumnya.

???

Tak mudah memang mengendalikan emosi.. Entah itu senang, sedih, marah, kecewa. Ketika emosi mulai terluapkan tanpa batas, maka yang terlihat adalah sebuah keegoisan. Letupan emosi tak berarah itu kadang membuatku menjadi lemah. Lemah karena tidak bisa menguasainya.