Thursday, February 25, 2010

asa yang hilang..

kaki tak dapat lagi melangkah
hilang sudah separuh raga
tak bisa kusembunyikan
untaian kasih tak bermakna

langkah tak berderap
emosi tak lagi terlihat
menjauh.. menjauhlah bagai sang fajar
suara hati semakin menjerit
terinjak oleh kesombongan hasrat

bila jalan tak berujung itu yang kau pilih
tiada kan datang segala harap
tinggallah semua asa di dada
tinggalkan beribu kenangan

ucapkan satu kata dari bibirmu
aku kan hilang menyesap rindu
padamu..

Tuesday, February 16, 2010

kritik yang (tidak) membangun

Mendengar kata kritik saya pikiran saya langsung melambung ke berbagai pengalaman saya saat dikritik. Sewaktu saya masih menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Media Publica (Persma di kampus saya, Moestopo) banyak sekali kritik yang datang. Hujaman kritik kerap terlontar dari beberapa reporter saya dan tentunya dari "atasan" saya (Pemimpin Umum). Jujur saja, saya tidak suka dengan kritik, tapi rupanya saya memang tidak bisa mencegah orang untuk tidak mengkritik. Banyak kritik yang masuk di telinga saya, mulai dari cara kerja saya yang dianggap terlalu lunak sampai isi terbitan yang dianggap kurang ‘gres’. Memang mungkin tujuan awal mereka mengkritik saya agar nantinya hasil jurnalistik itu bisa mencapai titik maksimal dari yang diharapkan bersama. Saya lebih senang bila ada yang memberi saran atau solusi dari suatu hal yang dinilai belum maksimal.

Ada beberapa hal yang paling tidak saya sukai dari kritik adalah:
1. Apabila si pemberi kritik tidak tahu dan tidak mengerti tentang apa yang saya lakukan atau kerjakan. Terkadang mereka yang sok tahu ini cuma bisa berkomentar buruk tanpa ada rasa simpati sedikit pun dan merasa dirinya paling benar.
2. Saya tidak akan respek terhadap kritik yang ditujukan kepada saya apabila disampaikan tanpa adanya tawaran solusi atau saran yang bisa membuat lebih baik. Orang yang seperti ini saya kategorikan sebagai "tong kosong nyaring bunyinya".
3. Kritik disampaikan dengan bahasa yang kasar dan tanpa etika. Hal yang satu ini membuat saya ingin menutup kuping rapat2 atau segera pergi dari hadapan sang pengkritik, dan bila tak tahan juga kemungkinan terburuk akan berujung pada pertengkaran.

Seseorang pernah bercerita kepada saya mengenai kritikan. Hasil jerih payah dia dikritik habis-habisan, lebih tepatnya dihina di depan banyak orang. Bukan kritiknya yang dia permasalahkan tapi penyampaian kritik itu yang membuat darahnya langsung mendidih karena emosi. Bagaimana tidak, hasil kerjanya untuk menghasilkan karya jurnalistik dibilang sebagai "SAMPAH". Saya rasa itu bukan kritik lagi namanya, tapi sudah menjurus pada penghinaan. Tak hanya itu, saat ditanya bagian mana yang dianggap "sampah" pengkritik tadi tidak menjelaskan secara eksplisit. Wajar saja bila hubungan kedua orang tadi (pengkritik dan yang dikritik) menjadi renggang. Bukannya menghasilkan hal yang lebih baik malah menciptakan rasa permusuhan diantara keduanya.

Jadi, kategori kritik yang baik dan membangun  (menurut saya) harus kebalikan dari 3 hal yang telah saya sebutkan sebelumnya. Kritik tak boleh asal dilontarkan karena bukan tak mungkin kritik itu akan berbalik kepada Anda lebih tajam lagi.

Sunday, February 7, 2010

Cita-citaku...

Setiap orang pasti memiliki cita-cita yang tinggi. Entah itu jadi presiden, pilot, dokter, dan lainnya. Memang kata orang cita-cita itu penting dimiliki agar manusia bisa menentukan arah hidupnya.  Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki cita-cita? Apakah cita-cita itu sama dengan impian? Saya patut khawatir, karena jujur saja saya belum terpikir tentang apa yang menjadi cita-cita saya. Yang terlintas dipikiran saya tentang cita-cita adalah menjadi orang kaya yang sukses lahir batin! Hahaha, klise banget ya. Mungkin lebih tepat disebut impian ya daripada cita-cita.

Kakak pertama saya pernah berkata, "orang yang tidak punya cita-cita maka hidupnya bagaikan terombang-ambing di lautan yang berarus deras. Tidak bisa mencapai tepian dan tidak bisa menentukan arah. Ibarat mengikuti alur yang pada akhirnya akan berujung pada hilir yang tak bermakna."

Petuah tersebut langsung menyentak pikiran saya dan tanpa sadar mengiyakan ucapan kakak saya itu. Maka dari itu, mulai sekarang saya masih menentukan apa yang akan menjadi cita-cita saya kelak dan berusaha untuk mewujudkannya. Doakan saja :)