Friday, April 8, 2011

Ketika Lawakan Fokus pada Kekurangan Fisik Seseorang

"Ketika bahan lawakan terus menerus menyinggung kekurangan fisik seseorang, disitulah saya mulai merasa tidak nyaman berada dalam suatu lingkungan."

Petikan kalimat diatas langsung keluar begitu saja di pikiran saya berdasarkan pengalaman pribadi yang baru-baru ini saya alami.
Don't judge the book by its cover. Tak sepenuhnya bisa diterapkan dalam kehidupan nyata saat bertemu orang baru atau orang yang belum bisa dikenali lebih dalam. Setiap orang pasti akan menilai orang lain berdasarkan pengamatan fisik terlebih dahulu.

Akhir-akhir ini saya mengalami rasa ketidaknyamanan berada di suatu lingkungan. Rasanya tak etis kalau saya sebutkan tempatnya. Awalnya saya ikut tertawa mendengar lelucon-lelucon yang beredar di lingkungan tersebut, lucu tapi tak menyinggung hal yang sensitif. Tapi lama-kelamaan, saya mulai merasa lelucon yang awalnya terdengar renyah dan bisa membuat tertawa tanpa rasa berdosa, berubah menjadi sebuah hinaan, terutama pada fisik seseorang. Saat bahan lawakan menjurus ke arah fisik, saya mulai tak bisa menikmatinya sebagai hiburan. Lebih tepatnya, saya merasa miris mendengarnya. Sang objek lelucon pun terlihat hanya bisa menerima tanpa ada usaha meredamnya, karena menganggap sudah biasa diperlakukan seperti itu.

Ketidakberdayaan menjadi objek bahan tertawaan itu sempat saya rasakan. Beberapa kali saya mengikhlaskan diri saya menjadi objek lelucon. Toh, waktu itu saya berpikir tak ada salahnya membuat orang-orang di lingkungan tersebut menjadi senang. Hitung-hitung menyegarkan suasana agar tak melulu tegang. Saat sang "pelawak" kehabisan bahan lelucon, pelan-pelan masuk ke dalam hal sensitif yaitu hinaan fisik! Lagi-lagi, awalnya saya mencoba bisa menerima fisik saya menjadi celaan yang tentunya berhasil membuat orang-orang tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan celaan tersebut menjadi berulang, dan seringkali dikaitkan dengan kejadian masa kini.

Badan saya yang memang gemuk, sering menjadi ledekan orang di lingkungan saya itu. Yang menyedihkan, mereka tak sadar saya marah diledek seperti itu. Mungkin amarah saya tak terlihat, sebab saya berusaha menolak menjadi bahan ejekan yang menyinggung fisik secara halus dengan tak menanggapinya. Beberapa waktu setelahnya, saya mulai sadar bahwa tak lagi bisa menerima semua celaan fisik pada diri saya dan harus memberi sikap yang jelas. Bagi saya, bentuk fisik adalah sesuatu yang tabu untuk dicela. Entah itu bentuk fisik kurus, gemuk, bongkok, jangkung, pendek, apalagi kalau ada kekurangan dalam bentuknya seperti cacat fisik.

Apa setiap orang gemuk layak untuk ditertawakan? Apa tubuh gemuk hanya pantas menjadi bahan hinaan? Mereka yang punya jiwa peduli pasti tak akan menyinggung bentuk fisik seseorang menjadi sebuah lawakan. Mereka tak pernah tahu, sekali saja seseorang dihina atau ditertawakan karena bentuk fisiknya, selamanya tak akan pernah bisa melupakannya. Meskipun sang "pelawak" sudah lupa pernah membuat orang itu ditertawakan, karena menganggap lelucon fisik adalah hal yang biasa diucapkan sambil lalu. Tapi percayalah, sang objek takkan pernah lupa kapan, dimana, dan oleh siapa ia menjadi tertawaan, seumur hidupnya.

Sekali lagi saya ingin bertanya:
Apakah ketika sebelah tangaku tak ada, atau salah satu penglihatanku tak berfungsi, masihkah kalian menjadikan itu sebagai sebuah tertawaan? Bukankah seharusnya kalian menghormati setiap orang yang memiliki kekurangan fisik? Karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup tanpa perbedaan apalagi hinaan.



Jakarta, 8 April 2011
Radio Dalam