Saturday, August 6, 2011

Angan yang Terlepas

tahukah kau, menunggu itu bukan hal yang menyenangkan?
tapi kenapa kau tidak mengambil keputusan tegas?
tahukah kau, terlalu berharap itu bukan hal yang mudah?
tapi kenapa kau selalu memberiku kebahagiaan semu?
tahukah kau, hati ini sudah perlahan terbuka untukmu?
tapi kenapa kau tidak cepat mengisi ruang itu seutuhnya?

kebahagiaanmu mungkin bukan denganku
kesedihanmu mungkin terhapus hanya olehnya
tapi...
kebahagiaanku tercipta saat bersamamu
kesedihanku hilang hanya dengan candamu

Kini ku sadar, bahwa aku tidak bisa terus berada di antara kau dan dia
sadar bahwa aku hanya kebagiaan sesaat untukmu
Karena sesungguhnya, dialah yang selalu jadi tujuan akhirmu
Ku ikhlaskan kau pergi dari segala kenangan yang ada
Ku relakan kau menggenggam kembali tangannya
Untuk sama-sama meraih kebahagiaan dan masa depan bersamanya

Meski langkahku kini belum pasti
Aku selalu berusaha kuat
Demi kamu yang pernah menjadi motivasi kisahku
Pertemuan singkat ini tak mungkin bisa terlupakan
Jika saatnya nanti tiba, aku akan lebih hebat dari saat ini
Dan kau harus bangga dengan perubahanku :)

Tiga kalimat ini yang selalu jadi penuntunku:
Kalau kamu tidak bisa memiliki dia selamanya, jadilah sahabatnya
kalau kamu tidak sanggup menjadi sahabatnya, jadilah temannya
kalau kamu tidak bisa menjadi temannya, jadikan dia sebagai kenanganmu

Radio Dalam, 6 Agustus 2011
22.15 WIB

...Untuk kamu yang tak pernah kumiliki...

Wednesday, May 11, 2011

Pendam Rasa Ini

Dear someone,

Mengapa kau memiliki mata yang indah
Hingga aku tak pernah berani menatapmu
Mengapa kau memiliki suara yang merdu
Hingga aku tak pernah bosan bergurau denganmu
Mengapa kau memiliki wangi tubuh bak minyak kasturi
Hingga aku tak pernah bisa terlalu jauh darimu

Sadarkah kau, aku yang selalu ada di dekatmu namun tak kau sadari
Aku yang selalu berdoa untukmu namun tak kau rasakan
Aku yang terlanjur cinta kepadamu tapi tak pernah kau rindukan
Selalu menantikan masa depan denganmu

Cobalah buang semua masa lalumu
Lepaskan semua jeratan hatimu
Bukalah raga dan jiwamu
Hanya untukku seorang
Ku kan ada disini menunggumu

Bertahun pun aku rela menunggu
Asal kau dan aku nantinya bersatu
Mati rasa pun aku rela
Asal kau kan hidupkan rasa itu kembali
Karena aku hanya inginkan raga dan jiwamu
Sampai kau dan aku akhirnya menjadi kita

Ketika Egois Menguasai Kita

Ketika pertama kali mendengar kakak saya akan menikah, entah kenapa bukannya senang saya justru merasa kalut. Bukan karena khawatir dia tak mendapat calon suami yang tepat, tapi kekalutan itu lebih kepada sebuah keegoisan saya. Sebuah ketakutan akan kehilangan tempat bergantung bagi saya di dunia.

Rasanya saya tak mau dia "dirampas" oleh calon suaminya, karena selama 24 tahun (yang berarti selama hidup saya) kakaklah orang yang paling mengerti saya. Orang yang paling bisa saya andalkan ketika saya diambang keputusasaan. Rasanya seperti mau kehilangan orang yang disayang selamanya.

Keegoisan saya sempat terasa saat kakak saya benar-benar serius mengurus penikahannya. Doa saya kala itu, "Ya Allah, tundalah pernikahan kakakku sampai saya kuat dan bisa jadi pibadi yang mandiri." Untungnya, saya segera sadar bahwa doa seperti itu hanyalah untuk memuaskan keegoisan saya. Setelah mendengarkan cerita kakak saya tentang bagaimana hubungannya sudah berjalan 6 tahun dan selalu tertunda untuk menikah, akhirnya saya berusaha membuang ego saya. Namun, setelah itu ada pertentangan dari orang tua saya mengenai rencana pernikahan kakak. Alasan mereka, rencana pernikahan dinilai terlalu terburu-buru. Uniknya, entah karena memang sudah dijodohkan oleh Allah, pernikahan itu akhirnya berjalan lancar meski tanpa pesta besar2an.

Rupanya ego saya tak sepenuhnya hilang pasca-pernikahan kakak. Satu lagi keinginan kakak yang membuat saya benar-benar limbung. "Beberapa hari setelah nikah, gue akan pindha ke rumah baru," ujar kakak usai resepsi pernikahan. Lagi-lagi saya dilanda kebimbangan. Dalam hitungan hari, saya akan kehilangan tempat berbagi tawa, gembira, cerita, dan susah. Selama ini saya memang terlalu bergantung pada kakak. Bagi saya, dia adalah kakak sekaligus sahabat yang tak pernah berharap timbal balik namun selalu ingin mengerti saya. Tak pernah sekalipun dia cape memberi saya nasehat meski harus dilakukannya berulang kali karena saya kadang tak pernah menuruti nasehat baiknya.

Sejak itulah, saya berusaha tak lgi bergantung padanya. Saya berusaha berani mengambil keputusan berdasarkan analisa sendiri, berusaha berani menyelesaikan masalah yang dihadapi seorang diri, termasuk berani berkorban untuk kebahagiaan orang tua yang selama ini dilakukan kakak saya. Dua puluh empat tahun hidup saya, kakak adalah sumber inspirasi terbesar. Sumber menimba ilmu dari pengalamannya. "Untuk mengambil hikmah dari sesuatu yang negatif bukan berarti kita harus terjun ke hal yang negatif dulu kan. Hikmah atau pelajaran hidup bisa diambil dari pengalaman orang lain," petuah dia saat itu.

Sekarang, tepatnya hari ini, kakak saya sudah tinggal di rumah barunya. Tempat dia merajut kasih bersama keluarga kecil yang baru dibinanya. Dan tepat hari ini pula, saya harus belajar menjadi pribadi mandiri yang tangguh dan tahu cara menempatkan diri. Semua itu akan aku lakukan berbekal pelajaran yang telah dia beri selama ini. Karena ini adalah sebuah fase kehidupan yang harus dihadapi, suka atau tidak suka.

Radio Dalam,
11 Mei 2011

Friday, April 8, 2011

Ketika Lawakan Fokus pada Kekurangan Fisik Seseorang

"Ketika bahan lawakan terus menerus menyinggung kekurangan fisik seseorang, disitulah saya mulai merasa tidak nyaman berada dalam suatu lingkungan."

Petikan kalimat diatas langsung keluar begitu saja di pikiran saya berdasarkan pengalaman pribadi yang baru-baru ini saya alami.
Don't judge the book by its cover. Tak sepenuhnya bisa diterapkan dalam kehidupan nyata saat bertemu orang baru atau orang yang belum bisa dikenali lebih dalam. Setiap orang pasti akan menilai orang lain berdasarkan pengamatan fisik terlebih dahulu.

Akhir-akhir ini saya mengalami rasa ketidaknyamanan berada di suatu lingkungan. Rasanya tak etis kalau saya sebutkan tempatnya. Awalnya saya ikut tertawa mendengar lelucon-lelucon yang beredar di lingkungan tersebut, lucu tapi tak menyinggung hal yang sensitif. Tapi lama-kelamaan, saya mulai merasa lelucon yang awalnya terdengar renyah dan bisa membuat tertawa tanpa rasa berdosa, berubah menjadi sebuah hinaan, terutama pada fisik seseorang. Saat bahan lawakan menjurus ke arah fisik, saya mulai tak bisa menikmatinya sebagai hiburan. Lebih tepatnya, saya merasa miris mendengarnya. Sang objek lelucon pun terlihat hanya bisa menerima tanpa ada usaha meredamnya, karena menganggap sudah biasa diperlakukan seperti itu.

Ketidakberdayaan menjadi objek bahan tertawaan itu sempat saya rasakan. Beberapa kali saya mengikhlaskan diri saya menjadi objek lelucon. Toh, waktu itu saya berpikir tak ada salahnya membuat orang-orang di lingkungan tersebut menjadi senang. Hitung-hitung menyegarkan suasana agar tak melulu tegang. Saat sang "pelawak" kehabisan bahan lelucon, pelan-pelan masuk ke dalam hal sensitif yaitu hinaan fisik! Lagi-lagi, awalnya saya mencoba bisa menerima fisik saya menjadi celaan yang tentunya berhasil membuat orang-orang tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan celaan tersebut menjadi berulang, dan seringkali dikaitkan dengan kejadian masa kini.

Badan saya yang memang gemuk, sering menjadi ledekan orang di lingkungan saya itu. Yang menyedihkan, mereka tak sadar saya marah diledek seperti itu. Mungkin amarah saya tak terlihat, sebab saya berusaha menolak menjadi bahan ejekan yang menyinggung fisik secara halus dengan tak menanggapinya. Beberapa waktu setelahnya, saya mulai sadar bahwa tak lagi bisa menerima semua celaan fisik pada diri saya dan harus memberi sikap yang jelas. Bagi saya, bentuk fisik adalah sesuatu yang tabu untuk dicela. Entah itu bentuk fisik kurus, gemuk, bongkok, jangkung, pendek, apalagi kalau ada kekurangan dalam bentuknya seperti cacat fisik.

Apa setiap orang gemuk layak untuk ditertawakan? Apa tubuh gemuk hanya pantas menjadi bahan hinaan? Mereka yang punya jiwa peduli pasti tak akan menyinggung bentuk fisik seseorang menjadi sebuah lawakan. Mereka tak pernah tahu, sekali saja seseorang dihina atau ditertawakan karena bentuk fisiknya, selamanya tak akan pernah bisa melupakannya. Meskipun sang "pelawak" sudah lupa pernah membuat orang itu ditertawakan, karena menganggap lelucon fisik adalah hal yang biasa diucapkan sambil lalu. Tapi percayalah, sang objek takkan pernah lupa kapan, dimana, dan oleh siapa ia menjadi tertawaan, seumur hidupnya.

Sekali lagi saya ingin bertanya:
Apakah ketika sebelah tangaku tak ada, atau salah satu penglihatanku tak berfungsi, masihkah kalian menjadikan itu sebagai sebuah tertawaan? Bukankah seharusnya kalian menghormati setiap orang yang memiliki kekurangan fisik? Karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup tanpa perbedaan apalagi hinaan.



Jakarta, 8 April 2011
Radio Dalam

Friday, March 18, 2011

Jakarta Mulai Tak Nyaman, Perlu Pemindahan Pusat Pemerintahan

Jakarta-Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menilai Jakarta sebagai sebuah ibukota tak lagi mampu menopang seluruh beban dan masalah yang ada. Jakarta menjadi terlalu padat oleh berbagai fungsinya yang membuat masyarakatnya tak nyaman.

"Semua terpusat di Jakarta mulai dari pusat pemerintahan, perekonomiannya, budaya, pendidikan, semua complicated masuk di Jakarta," ujarnya saat ditemui Tempo di kantornya, Jakarta, Kamis (3/3).

Akibat semua itu, lanjutnya, Jakarta menjadi kota semrawut dengan masalah kemacetan, bertambahnya pemukiman kumuh, lingkungan yang tak sehat, dan daya dukung yang berubah defisit. Berdasarkan perhitungan, daya dukung Jakarta sangat defisiT, dilihat dari jumlah bio kapasitasnya yang terlalu rendah dibanding tapak ekologinya. Tapak ekologi Jakarta (gambaran beban) sebesar 13,5 juta global hektare, sedangkan bio kapasitas Jakarta hanya 0,124 juta global hektare. Seharusnya, besar tapak ekologi seimbang dengan bio kapasitas.

Wacana rencana memindahkan ibukota Jakarta ke wilayah lain, dianggap Djoko bukan solusi yang tepat. Sebab, secara historikal Jakarta sudah identik dengan Indonesia dan telah dikenal luas oleh warga asing. "Salah satu opsi yang paling mungkin adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke daerah lain," katanya.

Setidaknya, lanjut dia, jika beban kegiatan di Jakarta bisa berkurang maka akan lebih mudah untuk ditata ulang. Kementerian PU sudah membuat beberapa kajian terkait rencana pemindahan pusat pemerintahan itu. Hal paling utama yakni konsep wilayah yang akan dijadikan kota baru pusat pemerintahan Indonesia.

Ada 3 kriteria yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi. Pertama, daerah tujuan yang tak rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi maupun potensi tsunami. Kedua, adanya ketersediaan jaringan air yang mencukupi, dan ketiga, memiliki aksesibilitas dengan kota-kota sekitarnya seperti akses jalan, jalur kereta api, dan sebagainya. "Dan jangan sampai terjadi konurbasi atau terlalu lengket dengan kota sebelumnya," ungkapnya.
Menurut perhitungan kementerian, pemindahan pusat pemerintahan ini membutuhkan dana yang cukup besar, sedikitnya Rp 200 triliun perlu disediakan untuk bisa merealisasikan rencana itu. Meskipun begitu, Djoko membagi kebutuhan dana itu dengan skema 60 persen biaya ditanggung pemerintah, sisanya membutuhkan peran swasta.

Anggaran tersebut akan digunakan untuk membangun gedung dan kantor pemerintahan baru, seperti kantor kementerian, kantor presiden, kantor kedutaan besar, sekolah, pembangunan akses jalan, dan membangun jaringan air bersih. Jika pusat pemerintahan baru sudah terbentuk, maka kantor pemerintahan di Jakarta akan dijual atau dijadikan ruang terbuka hijau.

Lahan yang akan disediakan untuk pembangunan pusat pemerintahan baru itu, diperkirakan seluas 22.500 kilometer persegi, yang secara ideal mampu menampung hingga 2 juta jiwa. Namun dia memperkirakan seluruh personil pemerintahan tak lebih dari 1,9 juta jiwa.

Proses pemindahan pusat pemerintahan itu, kata dia, tak bisa selesai hanya dalam waktu singkat. Setidaknya butuh 7 tahun untuk membuat pemerintahan yang baru bisa berjalan sesuai fungsinya, dan untuk benar-benar bisa berkembang menjadi kota pusat pemerintahan baru yang kokoh dibutuhkan waktu 10 hingga 20 tahun.

Meski sudah membuat beberapa kajian dan membuat perencanaan sementara, bukan berarti proses pemindahan pusat pemerintahan tak akan menemui kendala. Djoko memperkirakan, kendala yang akan dihadapi yaitu meyakinkan penduduk wilayah tujuan untuk mau menerima perpindahan itu, dan masalah status tanah untuk pembangunan yang baru. Hanya saja, dia tak mau menyebutkan lokasi mana yang sudah dikaji kementerian dan paling mungkin dijajaki.

"Semua wilayah mungkin saja. Tapi wilayah yang paling tidak rawan bencana gempa bumi adalah Kalimantan," ujarnya.

Namun, tambahnya, semua rencana tersebut belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat sebab proses pemindahan pusat pemerintahan membutuhkan kajian lebih lanjut, perlu pembahasan dengan dewan perwakilan rakyat dan payung hukum yang mengaturnya. "Juga perlu melewati proses politik terlebih dahulu," katanya.

Tabel:
Komposisi penggunaan lahan seluas 22.500 km persegi:
- 10 persen untuk pembangunan kantor pemerintahan baru
- 20 persen untuk kawasan permukiman
- 30 persen untuk ruang terbuka hijau
- 26 persen untuk jaringan jalan dan utilitas lainnya
- 14 persen untuk pembangunan komersial seperti sektor jasa atau industri

ROSALINA

Friday, February 11, 2011

Selangkah Menuju Pencapaian

Sebelas bulan menjadi seorang (calon) reporter di media cetak benar-benar pengalaman yang tak pernah terlupakan. Rasanya saya juga tidak percaya bisa selama ini mampu bertahan menjalani pekerjaan yang menurut saya membanggakan dan penuh konsekuensi. Semester pertama di Koran Tempo merupakan masa terberat, saya diharuskan mampu beradaptasi, belajar, dan mampu mengaplikasikannya pengetahuan di lapangan dalam waktu singkat. Benar-benar bukan hal yang mudah dengan segala keterbatasan yang ada pada diri saya.

Jujur, sebelum memulai karir di dunia jurnalisme saya hanyalah seorang perempuan yang terkadang apatis, tidak suka bersosialisasi, penakut, dan malas mencari tahu tentang sesuatu. Tapi, sejak menjadi reporter, lama-kelamaan semua sifat itu mulai terkikis. Sifat kemandirian saya terbentuk sejak di Koran Tempo, dan menjadi pembuktian kepada semua orang yang pernah skeptis terhadap diri saya kalau saya bisa menjadi pribadi yang hebat dan mampu mewujudkan cita-cita.

Tinggal satu bulan lagi saya akan diangkat menjadi karyawan tetap Grup Tempo, dan saya sadar bahwa tanggung jawab semakin besar dan tentunya tantangan baru akan datang. Satu bulan lagi, target awal akan tercapai dan sudah saatnya saya menetapkan target pencapaian berikutnya untuk diraih! Meski masih banyak kekurangan selama bekerja, tapi saya pasti bisa memperbaikinya di waktu mendatang. Saya ingat, dulu saya tak pernah bisa menerima kritikan dan saran, tapi sekarang hal itu menjadi sebuah pedoman bagi saya untuk terus mengembangkan diri.

Terkadang saya merasa kemampuan saya dalam melakukan investigasi, pendalaman isu, dan teknik penulisan berita masih sangat kurang. Teguran dan omelan redaktur kerap harus saya terima, tapi saya anggap itu bonus karena itu berati mereka memperhatikan dan mendorong saya lebih maju lagi. Ah, saya jadi terkenang masa-masa awal menjajaki dunia kewartawanan. Masa-masa saya tak tahu jalan dan alamat di Jakarta dan sering nyasar ke tempat liputan, meski sejak lahir saya sudah tinggal di ibukota.

Terima kasih ya Allah atas kesempatan yang diberikan untuk seluruh pengalaman hidup saya selama ini. Semoga saya bisa mencapai kesuksesan lebih dari ini.

Cheers :)