Wednesday, May 11, 2011

Pendam Rasa Ini

Dear someone,

Mengapa kau memiliki mata yang indah
Hingga aku tak pernah berani menatapmu
Mengapa kau memiliki suara yang merdu
Hingga aku tak pernah bosan bergurau denganmu
Mengapa kau memiliki wangi tubuh bak minyak kasturi
Hingga aku tak pernah bisa terlalu jauh darimu

Sadarkah kau, aku yang selalu ada di dekatmu namun tak kau sadari
Aku yang selalu berdoa untukmu namun tak kau rasakan
Aku yang terlanjur cinta kepadamu tapi tak pernah kau rindukan
Selalu menantikan masa depan denganmu

Cobalah buang semua masa lalumu
Lepaskan semua jeratan hatimu
Bukalah raga dan jiwamu
Hanya untukku seorang
Ku kan ada disini menunggumu

Bertahun pun aku rela menunggu
Asal kau dan aku nantinya bersatu
Mati rasa pun aku rela
Asal kau kan hidupkan rasa itu kembali
Karena aku hanya inginkan raga dan jiwamu
Sampai kau dan aku akhirnya menjadi kita

Ketika Egois Menguasai Kita

Ketika pertama kali mendengar kakak saya akan menikah, entah kenapa bukannya senang saya justru merasa kalut. Bukan karena khawatir dia tak mendapat calon suami yang tepat, tapi kekalutan itu lebih kepada sebuah keegoisan saya. Sebuah ketakutan akan kehilangan tempat bergantung bagi saya di dunia.

Rasanya saya tak mau dia "dirampas" oleh calon suaminya, karena selama 24 tahun (yang berarti selama hidup saya) kakaklah orang yang paling mengerti saya. Orang yang paling bisa saya andalkan ketika saya diambang keputusasaan. Rasanya seperti mau kehilangan orang yang disayang selamanya.

Keegoisan saya sempat terasa saat kakak saya benar-benar serius mengurus penikahannya. Doa saya kala itu, "Ya Allah, tundalah pernikahan kakakku sampai saya kuat dan bisa jadi pibadi yang mandiri." Untungnya, saya segera sadar bahwa doa seperti itu hanyalah untuk memuaskan keegoisan saya. Setelah mendengarkan cerita kakak saya tentang bagaimana hubungannya sudah berjalan 6 tahun dan selalu tertunda untuk menikah, akhirnya saya berusaha membuang ego saya. Namun, setelah itu ada pertentangan dari orang tua saya mengenai rencana pernikahan kakak. Alasan mereka, rencana pernikahan dinilai terlalu terburu-buru. Uniknya, entah karena memang sudah dijodohkan oleh Allah, pernikahan itu akhirnya berjalan lancar meski tanpa pesta besar2an.

Rupanya ego saya tak sepenuhnya hilang pasca-pernikahan kakak. Satu lagi keinginan kakak yang membuat saya benar-benar limbung. "Beberapa hari setelah nikah, gue akan pindha ke rumah baru," ujar kakak usai resepsi pernikahan. Lagi-lagi saya dilanda kebimbangan. Dalam hitungan hari, saya akan kehilangan tempat berbagi tawa, gembira, cerita, dan susah. Selama ini saya memang terlalu bergantung pada kakak. Bagi saya, dia adalah kakak sekaligus sahabat yang tak pernah berharap timbal balik namun selalu ingin mengerti saya. Tak pernah sekalipun dia cape memberi saya nasehat meski harus dilakukannya berulang kali karena saya kadang tak pernah menuruti nasehat baiknya.

Sejak itulah, saya berusaha tak lgi bergantung padanya. Saya berusaha berani mengambil keputusan berdasarkan analisa sendiri, berusaha berani menyelesaikan masalah yang dihadapi seorang diri, termasuk berani berkorban untuk kebahagiaan orang tua yang selama ini dilakukan kakak saya. Dua puluh empat tahun hidup saya, kakak adalah sumber inspirasi terbesar. Sumber menimba ilmu dari pengalamannya. "Untuk mengambil hikmah dari sesuatu yang negatif bukan berarti kita harus terjun ke hal yang negatif dulu kan. Hikmah atau pelajaran hidup bisa diambil dari pengalaman orang lain," petuah dia saat itu.

Sekarang, tepatnya hari ini, kakak saya sudah tinggal di rumah barunya. Tempat dia merajut kasih bersama keluarga kecil yang baru dibinanya. Dan tepat hari ini pula, saya harus belajar menjadi pribadi mandiri yang tangguh dan tahu cara menempatkan diri. Semua itu akan aku lakukan berbekal pelajaran yang telah dia beri selama ini. Karena ini adalah sebuah fase kehidupan yang harus dihadapi, suka atau tidak suka.

Radio Dalam,
11 Mei 2011