Friday, March 18, 2011

Jakarta Mulai Tak Nyaman, Perlu Pemindahan Pusat Pemerintahan

Jakarta-Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menilai Jakarta sebagai sebuah ibukota tak lagi mampu menopang seluruh beban dan masalah yang ada. Jakarta menjadi terlalu padat oleh berbagai fungsinya yang membuat masyarakatnya tak nyaman.

"Semua terpusat di Jakarta mulai dari pusat pemerintahan, perekonomiannya, budaya, pendidikan, semua complicated masuk di Jakarta," ujarnya saat ditemui Tempo di kantornya, Jakarta, Kamis (3/3).

Akibat semua itu, lanjutnya, Jakarta menjadi kota semrawut dengan masalah kemacetan, bertambahnya pemukiman kumuh, lingkungan yang tak sehat, dan daya dukung yang berubah defisit. Berdasarkan perhitungan, daya dukung Jakarta sangat defisiT, dilihat dari jumlah bio kapasitasnya yang terlalu rendah dibanding tapak ekologinya. Tapak ekologi Jakarta (gambaran beban) sebesar 13,5 juta global hektare, sedangkan bio kapasitas Jakarta hanya 0,124 juta global hektare. Seharusnya, besar tapak ekologi seimbang dengan bio kapasitas.

Wacana rencana memindahkan ibukota Jakarta ke wilayah lain, dianggap Djoko bukan solusi yang tepat. Sebab, secara historikal Jakarta sudah identik dengan Indonesia dan telah dikenal luas oleh warga asing. "Salah satu opsi yang paling mungkin adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke daerah lain," katanya.

Setidaknya, lanjut dia, jika beban kegiatan di Jakarta bisa berkurang maka akan lebih mudah untuk ditata ulang. Kementerian PU sudah membuat beberapa kajian terkait rencana pemindahan pusat pemerintahan itu. Hal paling utama yakni konsep wilayah yang akan dijadikan kota baru pusat pemerintahan Indonesia.

Ada 3 kriteria yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi. Pertama, daerah tujuan yang tak rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi maupun potensi tsunami. Kedua, adanya ketersediaan jaringan air yang mencukupi, dan ketiga, memiliki aksesibilitas dengan kota-kota sekitarnya seperti akses jalan, jalur kereta api, dan sebagainya. "Dan jangan sampai terjadi konurbasi atau terlalu lengket dengan kota sebelumnya," ungkapnya.
Menurut perhitungan kementerian, pemindahan pusat pemerintahan ini membutuhkan dana yang cukup besar, sedikitnya Rp 200 triliun perlu disediakan untuk bisa merealisasikan rencana itu. Meskipun begitu, Djoko membagi kebutuhan dana itu dengan skema 60 persen biaya ditanggung pemerintah, sisanya membutuhkan peran swasta.

Anggaran tersebut akan digunakan untuk membangun gedung dan kantor pemerintahan baru, seperti kantor kementerian, kantor presiden, kantor kedutaan besar, sekolah, pembangunan akses jalan, dan membangun jaringan air bersih. Jika pusat pemerintahan baru sudah terbentuk, maka kantor pemerintahan di Jakarta akan dijual atau dijadikan ruang terbuka hijau.

Lahan yang akan disediakan untuk pembangunan pusat pemerintahan baru itu, diperkirakan seluas 22.500 kilometer persegi, yang secara ideal mampu menampung hingga 2 juta jiwa. Namun dia memperkirakan seluruh personil pemerintahan tak lebih dari 1,9 juta jiwa.

Proses pemindahan pusat pemerintahan itu, kata dia, tak bisa selesai hanya dalam waktu singkat. Setidaknya butuh 7 tahun untuk membuat pemerintahan yang baru bisa berjalan sesuai fungsinya, dan untuk benar-benar bisa berkembang menjadi kota pusat pemerintahan baru yang kokoh dibutuhkan waktu 10 hingga 20 tahun.

Meski sudah membuat beberapa kajian dan membuat perencanaan sementara, bukan berarti proses pemindahan pusat pemerintahan tak akan menemui kendala. Djoko memperkirakan, kendala yang akan dihadapi yaitu meyakinkan penduduk wilayah tujuan untuk mau menerima perpindahan itu, dan masalah status tanah untuk pembangunan yang baru. Hanya saja, dia tak mau menyebutkan lokasi mana yang sudah dikaji kementerian dan paling mungkin dijajaki.

"Semua wilayah mungkin saja. Tapi wilayah yang paling tidak rawan bencana gempa bumi adalah Kalimantan," ujarnya.

Namun, tambahnya, semua rencana tersebut belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat sebab proses pemindahan pusat pemerintahan membutuhkan kajian lebih lanjut, perlu pembahasan dengan dewan perwakilan rakyat dan payung hukum yang mengaturnya. "Juga perlu melewati proses politik terlebih dahulu," katanya.

Tabel:
Komposisi penggunaan lahan seluas 22.500 km persegi:
- 10 persen untuk pembangunan kantor pemerintahan baru
- 20 persen untuk kawasan permukiman
- 30 persen untuk ruang terbuka hijau
- 26 persen untuk jaringan jalan dan utilitas lainnya
- 14 persen untuk pembangunan komersial seperti sektor jasa atau industri

ROSALINA