Wednesday, May 11, 2011

Ketika Egois Menguasai Kita

Ketika pertama kali mendengar kakak saya akan menikah, entah kenapa bukannya senang saya justru merasa kalut. Bukan karena khawatir dia tak mendapat calon suami yang tepat, tapi kekalutan itu lebih kepada sebuah keegoisan saya. Sebuah ketakutan akan kehilangan tempat bergantung bagi saya di dunia.

Rasanya saya tak mau dia "dirampas" oleh calon suaminya, karena selama 24 tahun (yang berarti selama hidup saya) kakaklah orang yang paling mengerti saya. Orang yang paling bisa saya andalkan ketika saya diambang keputusasaan. Rasanya seperti mau kehilangan orang yang disayang selamanya.

Keegoisan saya sempat terasa saat kakak saya benar-benar serius mengurus penikahannya. Doa saya kala itu, "Ya Allah, tundalah pernikahan kakakku sampai saya kuat dan bisa jadi pibadi yang mandiri." Untungnya, saya segera sadar bahwa doa seperti itu hanyalah untuk memuaskan keegoisan saya. Setelah mendengarkan cerita kakak saya tentang bagaimana hubungannya sudah berjalan 6 tahun dan selalu tertunda untuk menikah, akhirnya saya berusaha membuang ego saya. Namun, setelah itu ada pertentangan dari orang tua saya mengenai rencana pernikahan kakak. Alasan mereka, rencana pernikahan dinilai terlalu terburu-buru. Uniknya, entah karena memang sudah dijodohkan oleh Allah, pernikahan itu akhirnya berjalan lancar meski tanpa pesta besar2an.

Rupanya ego saya tak sepenuhnya hilang pasca-pernikahan kakak. Satu lagi keinginan kakak yang membuat saya benar-benar limbung. "Beberapa hari setelah nikah, gue akan pindha ke rumah baru," ujar kakak usai resepsi pernikahan. Lagi-lagi saya dilanda kebimbangan. Dalam hitungan hari, saya akan kehilangan tempat berbagi tawa, gembira, cerita, dan susah. Selama ini saya memang terlalu bergantung pada kakak. Bagi saya, dia adalah kakak sekaligus sahabat yang tak pernah berharap timbal balik namun selalu ingin mengerti saya. Tak pernah sekalipun dia cape memberi saya nasehat meski harus dilakukannya berulang kali karena saya kadang tak pernah menuruti nasehat baiknya.

Sejak itulah, saya berusaha tak lgi bergantung padanya. Saya berusaha berani mengambil keputusan berdasarkan analisa sendiri, berusaha berani menyelesaikan masalah yang dihadapi seorang diri, termasuk berani berkorban untuk kebahagiaan orang tua yang selama ini dilakukan kakak saya. Dua puluh empat tahun hidup saya, kakak adalah sumber inspirasi terbesar. Sumber menimba ilmu dari pengalamannya. "Untuk mengambil hikmah dari sesuatu yang negatif bukan berarti kita harus terjun ke hal yang negatif dulu kan. Hikmah atau pelajaran hidup bisa diambil dari pengalaman orang lain," petuah dia saat itu.

Sekarang, tepatnya hari ini, kakak saya sudah tinggal di rumah barunya. Tempat dia merajut kasih bersama keluarga kecil yang baru dibinanya. Dan tepat hari ini pula, saya harus belajar menjadi pribadi mandiri yang tangguh dan tahu cara menempatkan diri. Semua itu akan aku lakukan berbekal pelajaran yang telah dia beri selama ini. Karena ini adalah sebuah fase kehidupan yang harus dihadapi, suka atau tidak suka.

Radio Dalam,
11 Mei 2011

1 comment:

  1. bener banget mbak,
    karena keegoisan kita, kadang kita jadi tak memikirkan hak orang lain untuk bahagia..

    ReplyDelete